Malini adalah sebuah
danau. Pemandangannya sangat indah, air jernih membuat senang penghuninya.
Berbagai jenis hewan air merasa aman tentram. Mereka hidup damai tanpa ada
ganguan. Suatu hari datanglah seekor bangau yang terbang di atas danau itu. Ia
amat terpesona melihat keindahannya. Dengan segera ia mendekati danau itu dan
mulai menjalankan akal muslihatnya. Ditepi danau itu ia mengambil sikap berdiri
dengan satu kaki menghadap ke arah danau, seakan-akan ia menjadi seekor bangau
pertapa yang telah meninggalkan alam keduniawian.
Berhari-hari ia bersikap demikian tanpa
bergerak-gerak sedikitpun. Lama-lama ikan-ikan di danau merasa heran dan mereka
mulai berani mendekati bangau yang sedang “bertapa”. Dua ekor ikan mencoba
lewat dimuka bangau itu. Tapi bangau tidak mengubah sikap sedikitpun. Ia
seakan-akan tak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati kehidupan yang indah ini.
Akhirnya semua ikan di danau itu tak merasa takut lagi padanya, dan mereka tak
merasa khawatir akan dijadikan mangsa bangau itu. Suatu hari, karena rasa ingin
tahunya, raja ikan di danau itu bertanya pada bangau : “Mengapa kau sedih wahai
bangau?”
“Oh ikan yang baik, aku berbuat
demikian ini adalah atas kehendak dewa. Aku telah sadar dari segala perbuatanku
yang telah lalu, yang membuatku sangat berdosa besar terhadap dewa-dewa. Sebab
itu aku hendak menebus dosa-dosaku itu dengan petunjuknya, dan mulai saat ini
aku tak mau lagi memusuhi sesama mahluk, termasuk engkau ikan-ikan, apa lagi
memakannya. Alangkah gembiranya ikan-ikan mendengarnya. Tetapi beberapa hari
kemudian alangkah herannya ikan-ikan ketika dilihatnya bangau menangis. Maka
bertanyalah sang raja ikan: “Hai bangau! mengapa engkau menangis?” Oh ikan,
alangkah sedihnya aku, jawab bangau sambil terus mengisak-isak. “Mengapakah
demikian, bangau?” tanya ikan lagi.
Sebenarnya akan datang bencana yang
bakal menimpa kita sekalian, penghuni danau indah ini. Aku telah mendengar
kabar, bahwa tiada beberapa lama lagi para nelayan akan mengadakan penangkapan
ikan besar-besaran. Mereka telah membuat jala, pancing dan bubu
sebanyak-banyaknya. Oh ikan, itulah yang menjadi buah pikiranku selama ini.
Karena itu ikan-ikan, aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah kalian
menghadapi bencana yang bakal tiba. Aku berdosa tidak bisa melindungi agar
kalian dapat menyelamatkan diri masing-masing terhadap nelayan yang serakah
itu.”
Mendengar berita itu alangkah sedihnya
hati para ikan. Mereka saling bertangisan di hadapan bangau sambil
meratap-ratap.
Oh bangau, tiadakah engkau dapat
memberi pertolongan agar kami dapat terlepas dari bencana itu? Hm, ikan-ikan,
aku punya akal. Aku bersedia memberi pertolongan, memindahkan kalian satu persatu
ke danau lain tak jauh dari sini.
Karena rasa takutnya terhadap bencana
yang akan menimpa ikan-ikan itu, maka satu-persatu ikan-ikan diterbangkan.
Tetapi bangau itu tidak terbang menuju tempat yang dijanjikan. Melainkan
dibawanya ke sarang mereka.
Disana dengan lahapnya dimakannya
ikan-ikan itu. Demikian seterusnya, sampai ikan-ikan di danau itu habis.
Kini tinggallah seekor ketam di danau itu yang belum dipindah. Iapun dibawa
terbang oleh bangau. Tapi serentak ia hendak menukik kesarangnya, ketam itu melihat
banyak sekali darah dan duri-duri ikan disana.
Tahulah ketam itu, bahwa iapun hendak
dimangsa bangau yang serakah itu. Ketika bangau itu menukik turun, cepat-cepat
ketam itu menjepit leher bangau itu. Bangau itu segera menggelepar tak berdaya.
Lepaskan aku! Lepaskan! teriaknya parau. Ketam itu makin memperkeras jepitannya
hingga akhirnya putuslah leher bangau itu. Darahnya mengucur. Jadi bangau itu
binasa juga, ya nek? tanyaku. Ya, setiap kejahatan pasti berakhir demikian.
Sambung nenek menyudahi ceritanya.
Dahulu
kala di negeri Korea hiduplah seorang petani yang miskin. Ia tinggal di sebuah
dusun yang terletak di lereng sebuah gunung yang tinggi. Petani itu mempunyai
seorang puteri yang bernama Bok-Sury. Istrinya telah lama meninggal. Bok-Sury
adalah seorang gadis yang rajin dan pemberani. Ia sangat menyayangi ayahnya.
Suatu
hari ketika Bok-Sury memasak di dapur, seekor katak melompat-lompat masuk.
Katak itu duduk dekat kakinya. Tiba-tiba katak itu berkata, “Bok-Sury
berikanlah aku nasi sedikit. Perutku lapat sekali”. Bok-Sury sangat terkejut
mendengar katak itu dapat berbicara. Tapi karena ia seorang gadis yang
pemberani, maka diberikannya nasi sedikit pada katak itu. Dengan lahapnya katak
itu memakan nasi pemberiannya. Katak itu kembali berkata, “terima kasih
Bok-Sury! Sekarang biarkanlah aku tinggal di pojok dapurmu. Aku tak mempunyai
keluarga, dan lagi pula aku senang tinggal di dekatmu.”
Bok-Sury
tidak mengusir katak itu. Ia pun merasa kesepian, katak itu dapat dijadikan
teman bicaranya. Setiap hari bila Bok-Sury masak, disisakannya sedikit untuk
katak itu. Tak seorang pun tahu tentang si katak. Ayahnya pun tak tahu. Karena
tak bergerak-gerak maka tumbuhlah katak itu menjadi besar sekali. Bila orang
melihat akan disangkanya katak itu seekor anjing.
Suatu
ketika ayah Bok-Sury jatuh sakit. Badannya semakin kurus, mukanya pucat.
Bok-Sury berusaha keras untuk menyembuhkan ayahnya, tapi ia tak berhasil. Ada
seorang tabib yang tinggal jauh sekali dari dusun mereka. Karena Bok-Sury
sangat menyayangi ayahnya, ia pergi juga menjemput tabib itu. Setelah
memeriksanya, tabib itu berkata, “Bok-Sury, ayahmu sakit keras. Aku tak kuasa
menyembuhkannya. Ada sebuah obat yang dapat menyembuhkan yaitu Ginseng. Tapi
obat itu mahal sekali.”
Bok
Sury merasa sedih sekali mendengar keterangan tabib. Ia tak punya uang dan tak
dapat meninggalkan ayahnya untuk bekerja.
Sementara
itu, di sebuah dusun di lereng gunung yang sama, rakyat sedang gelisah. Di sana
terdapat istana tua yang dihuni oleh mahluk raksasa. Setiap tahun rakyat harus
mengorbankan seorang manusia. Orang yang dijadikan mangsa itu diletakkan di
atas sebuah altar di dalam istana.
Bila
keesokan harinya rakyat melihat orang itu sudah tidak ada, maka itu tandanya
mereka akan selamat dari amukan mahluk raksasa selama setahun. Sudah banyak
yang menjadi korban. Sekarang rakyat sedang kebingungan. Mereka tidak mempunyai
korban buat si mahluk raksasa. Akhirnya rakyat mengumpulkan uang. Uang yang
banyak itu akan diberikan kepada siapa saja yang mau dijadikan korban.
Bok-Sury
mendengar sayembara itu. Segera diputuskannya untuk menjadikan dirinya korban
buat si mahluk raksasa. Ia pergi ke dusun itu dan mendapatkan uang. Dengan uang
yang banyak, Bok-Sury pergi membeli ginseng.
Betapa
sukacitanya, ia ketika dilihatnya ayah tercinta berangsur-angsur sembuh. Bahkan
dalam waktu beberapa hari saja ayahnya dapat berdiri dan berjalan. Tapi
kegembiraan Bok-Sury tak dapat berlangsung lama. Hari yang ditentukan tiba
juga. Bok-Sury masak agak banyak untuk ayahnya. Kepada ayahnya ia berkata,
“Ayah, aku akan bertandang ke rumah teman, mungkin agak lama. Ayah makanlah dahulu,
sudah kusiapkan.”
Ayah
Bok-Sury tak menaruh curiga, karena Bok-Sury sering pergi untuk menolong salah
satu tetangganya. Bok-Sury teringat pada kataknya. Ia pergi ke dapur, ternyata
sang katak sudah mengetahui rencana Bok-Sury. Katak itu menangis. Bok-Sury
dengan lemah lembut membelai kepala katak itu sambil berkata, “Wahai sahabatku
yang setia. Hari ini adalah hari terakhir kita bercakap-cakap. Jangan sedih,
dan jagalah dirimu baik-baik.”
Bok-Sury
sesampainya di dusun tempat mahluk raksasa itu berada, langsung dibawa ke
istana tua. Ia diletakkan di atas altar persembahan. Suasana sunyi untuk
beberapa saat. Bok-Sury memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tiba-tiba
dilihatnya katak yang dipeliharanya duduk di pojok ruangan. Katak itu
memandangnya dengan bola mata yang bersinar-sinar. Tiba-tiba katak itu membuka
mulutnya. Dari mulutnya keluar segulung asap berwarna kuning. Asap itu naik ke
atas. Tiba-tiba dari atap rumah keluar segulung asap berwarna biru. Asap kuning
dari sang katak berusaha menekan asap biru tadi. Terjadi dorong-mendorong
antara kedua asap itu. Tapi lihat.. asap kuning itu akhirnya berhasil
menggulung asap biru itu. Bersamaan dengan itu bumi seakan bergetar.
Keesokan
harinya orang-orang mendatangi istana. Mereka mendapatkan Bok-Sury pingsan di
dekat bangkai seekor katak raksasa. Bok-Sury selamat dan dapat kembali ke
ayahnya. Ia dianugrahkan uang dan benda-benda berharga lainnya oleh penduduk
dusun yang berhasil dibebaskan dari mahluk raksasa.
Bok-Sury
membawa pulang bangkai raksasa itu. Ia menguburnya dengan khidmat. Bok-Sury
hidup bahagia bersama ayahnya.
Kura-Kura
dan Kelinci yang Sombong
Di
sebuah hutan kecil di pinggiran desa, ada seekor Kelinci yang sombong. Dia suka
mengejek hewan-hewan lain yang lebih lemah. Hewan-hewan lain seperti kura-kura,
siput, semut, dan hewan-hewan kecil lain tidak ada yang suka pada kelinci
sombong itu.
Suatu
hari, si Kelinci berjalan dengan angkuhnya mencari lawan yang lemah untuk
diejeknya. Kebetulan dia bertemu dengan kura-kura.
“Hei,
kura-kura, si lambat, kamu jangan jalan aja dong.. lari begitu, biar cepat
sampai,” kata Kelinci sambir mencibirkan bibirnya ke Kura-kura.
“Biarlah
Kelinci, memang jalanku lambat. Yang penting aku sampai dengan selamat ke
tempat tujuanku, daripada cepat-cepat nanti jatuh dan terluka,” jawab Kura-kura
dengan tenang.
“Hei,
kura-kura, bagaimana kalau kita adu lari. Kalau kau bisa menang aku akan beri
hadiah apapun yang kau minta,” kata Kelinci dengan tertawa. Dalam hatinya dia
berkata, “Mana mungkin dia akan bisa mengalahkanku.”
“Wah,
kelinci, mana mungkin aku bertanding adu cepat denganmu, Kamu bisa lari dan
loncat dengan cepat, sedangkan aku berjalan selangkah demi selangkah sambil
membawa rumahku yang berat ini,” kata kura-kura.
“Nggak
bisa, kamu nggak boleh menolak tantanganku ini. Pokoknya besok pagi aku tunggu
kau di bawah pohon beringin. Aku akan menghubungi Pak Serigala untuk jadi
wasitnya,” Kelinci memaksa.
Kura-kura
hanya bisa diam melongo. Dalam hatinya berkata, “Mana mungkin aku bisa
mengalahkan Kelinci?”
Keesokan
harinya Si Kelinci sudah menunggu dengan sombongnya di bawah pohon beringin.
Pak Serigala juga sudah datang untuk menjadi wasit. Setelah kura-kura datang,
Pak Serigala berkata, “Peraturannya begini, kalian mulai dari garis di sebelah
sana yang di bawah pohon mangga itu. Kalian bisa lihat nggak?” “Bisa… bisa… ,”
Kelinci dan kura-kura menjawab. “Nah siapa yang bisa datang duluan di bawah
pohon beringin ini, itulah yang menang,” kata Pak Serigala lagi.
“Oke,…
satu…. dua… tiga… mulai!” Pak Serigala memberi aba-aba. Kelinci segera meloncat
mendahului kura-kura, yang mulai melangkah pelan, karena dia tidak bisa
meninggalkan rumahnya. “Ayo kura-kura, lari dong…..!” teriak Kelinci dari
kejauhan. “Baiklah aku tunggu di sini ya…,” katanya lagi sambil mengejek
kura-kura. Kelinci duduk-duduk sambil bernyanyi. Angin waktu itu berhembus
pelan dan sejuk, sehingga membuat Kelinci menjadi mengantuk, dan, tak lama
kemudian Kelinci pun tertidur!
Dengan
pelan tapi pasti kura-kura melangkah sekuat tenaga. dengan diam-diam dia
melewati Kelinci yang tertidur pulas. Beberapa langkah lagi dia akan mencapai
finish. Ketika itulah Kelinci bangun. Betapa terkejutnya dia ketika melihat
kura-kura sudah hampir mencapai finish. Sekuat tenaga dia berlari dan meloncat
untuk mengejar kura-kura. Namun sudah terlambat, kaki kura-kura telah menyentuh
garis finish dan Pak Serigala telah memutuskan bahwa pemenangnya adalah
KURA-KURA. Si Kelinci Sombong terdiam seolah tak percaya bahwa dia bisa
tertidur.
“Nah,
siapa yang menang Kelinci?” tanya kura-kura kepada kelinci. “Wah, ternyata kau
menang kura-kura,” jawab kelinci malu. “Sekarang aku hanya minta satu dari
kamu, kamu jangan sombong lagi, jangan suka mengejek lagi, dan jangan nakal,
ya?” kata kura-kura. “Iya lah kura-kura, mulai sekarang aku tidak akan sombong
lagi, tidak akan mengejek lagi. Maafkan aku ya,” kata kelinci. “Iya, nggak
apa-apa, sekarang kita berteman ya?” kata kura-kura. Sejak saat itu Kelinci
tidak sombong lagi.
Belum ada tanggapan untuk "CERITA PENDEK"
Post a Comment